Lembaga pemeringkat utang global, S&P Global Ratings, memangkas outlook Bank Mandiri Tbk (BMRI, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia Tbk dari stabil menjadi negatif.
Pemangkasan outlook tersebut tertuang dalam penilaian terbaru lembaga ini yang dirilis pada 28 April 2020. “Meningkatnya risiko ekonomi dalam sistem perbankan Indonesia dapat melemahkan profil kredit tiga bank BUMN tersebut,” tulis S&P Global Ratings
Selain tiga bank tersebut, S&P menyatakan, secara umum perbankan di Indonesia akan menghadapi risiko serupa. “Dalam pandangan kami, risiko ekonomi bagi bank-bank Indonesia meningkat karena pandemi Covid-19 yang telah memengaruhi pariwisata, transportasi, perdagangan, manufaktur, dan investasi di negara ini,” kata S&P.
Pada saat bersamaan, perbankan menghadapi tekanan ekonomi akibat turunnya konsumsi masyarakat. Turunnya belanja masyarakat itu berkaitan dengan penerapan pembatasan sosial di sejumlah wilayah.
Padahal selama ini konsumsi masyarakat menyumbang hampir 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Alhasil, penurunan konsumsi akan menekan laju pertumbuhan ekonomi dan mengganggu bisnis perbankan. “Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 1,8% pada 2020, dibandingkan dengan 5% pada 2019, ” kata S&P lagi.
Lembaga pemeringkat utang ini juga menyoroti potensi risiko pelemahan kurs terhadap perbankan. Bahkan secara keseluruhan, pelemahan kurs rupiah akan berdampak besar dan melemahkan ekonomi Indonesia.
Menurut S&P Ratings, memang perbankan di Indonesia tidak memiliki posisi valuta asing dalam jumlah yang signifikan. Dengan kata lain, dampak langsung depresiasi rupiah terhadap dollar AS tidak terasa signifikan.
Namun demikian, risiko kurs tetap mengintai perbankan Indonesia. Muaranya berasal dari penyaluran kredit perbankan ke perusahaan-perusahaan yang sangat tergantung pada pendanaan asing.
Risiko itu juga datang dari debitur bank yang mengandalkan pemasukan dari rupiah, tetapi memiliki kewajiban atau utang valas yang besar.Risiko kurs semakin tinggi jika debitur bank tidak menjalankan lindung nilai (hedging) atas kewajibannya dalam mata uang asing.
Bank yang memiliki eksposur kredit besar ke usaha kecil menengah (UKM) juga menghadapi risiko tinggi. “Sektor UKM cenderung berada di bawah tekanan karena menghadapi pendapatan yang menurun dan likuiditas yang lebih lemah. Kami berharap kualitas aset bank Indonesia memburuk, biaya kredit meningkat, dan profitabilitas menurun. Karena itu, kami merevisi tren risiko ekonomi untuk industri perbankan Indonesia menjadi negatif dari stabil,” katanya.
S&P menambahkan, Indonesia diyakini bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat Covid-19. Apalagi pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia (BI) tampak agresif menggelontorkan sejumlah paket stimulus ekonomi dan moneter untuk mencegah efek Covid-19, serta menjalankan restrukturisasi kredit demi meringankan beban swasta.
Prediksi S&P, ekonomi Indonesia bisa bangkit lagi pada tahun 2021. “Dalam kasus dasar kami, kami percaya penurunan ini adalah peristiwa siklus dan kisah pertumbuhan struktural Indonesia masih utuh. Laju ekspansi ekonomi harus kembali ke level 5% dalam jangka menengah. Kami mengharapkan pemulihan berbentuk U yang datar dengan pertumbuhan 6,3% di tahun 2021,”kata S&P.
Khusus sektor perbankan, S&P juga menilai daya tahan perbankan Indonesia masih kuat. Hal tersebut didasari pada kekuatan modal perbankan dan perbaikan sistem perbankan di Indonesia selama bertahun-tahun sehingga meningkatkan daya tahan perbankan Indonesia.
S&P mencatat, rasio modal Tier-1 rata-rata bank sebesar 21,2% dan rasio kecukupan modal 22,8%, pada Januari 2020. Rasio permodalan tersebut termasuk yang tertinggi di kawasan Asia.
“Kami juga terus melihat kemungkinan besar dukungan pemerintah yang luar biasa untuk bank-bank besar milik pemerintah Indonesia. Dukungan dari pemerintah ini penting untuk mengantisipasi dampak sistemik sektor perbankan,” tandas S&P Ratings.
Sumber Kontan, edit koranbumn