Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus melakukan transformasi untuk mempertajam daya tembus bantuan CSR dari perusahaan milik negara kepada pelaku usaha mikro dan kecil. Transformasi yang dilakukan Menteri BUMN Erick Thohir kali ini dengan menerbitkan sentuhan baru atas program pendanaan usaha mikro dan kecil (PUMK) yang merupakan bagian dari program Bakti BUMN, yang merupakan bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan BUMN.
Berbeda dengan pelaksanaan PUMK sebelumnya, Erick kini mengatur agar kerja sama program PUMK dapat dilakukan oleh BUMN dengan BUMN lain atau anak usaha yang menjalankan bisnis sebagai lembaga pembiayaan dan perbankan.
“Intinya, BUMN dapat menggandeng BUMN di sektor keuangan yang memiliki kemampuan dalam menyalurkan pinjaman,” ujar Erick saat launching kerja sama program pendanaan UMK di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (5/12/2022).
Erick menyampaikan mekanisme kerja sama antara BUMN tersebut harus dituangkan dalam surat perjanjian dan/atau kontrak. Kesepakatan tersebut minimal memuat hak dan kewajiban serta tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Ketentuan terbaru ini diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-6/MBU/09/2022 tanggal 8 September 2022. Aturan ini mengatur tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/04/2021 Tentang Program TJSL BUMN.
Erick menegaskan terobosan ini dilandasi hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Program PUMK di BUMN sebelumnya. Hasil evaluasi menunjukkan telah terjadi tantangan yang dinamis dalam hal penyaluran dan tingkat kolektibilitas piutang yang belum optimal.
“Pelaksanaan Program Pendanaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, atau dahulu disebut Program Kemitraan secara umum mampu meningkatkan skala usaha bagi usaha mikro dan usaha kecil. Namun, penyaluran dan kolektibilitas piutangnya belum optimal. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan Kerja Sama Program PUMK sebagai langkah strategis menghadapi dinamika atas penyaluran dan piutang tersebut,” lanjut Erick.
Dia melanjutkan, Peraturan Menteri BUMN yang baru ini juga mengatur tentang bentuk pendanaannya. Pertama, berbentuk Pemberian Modal Kerja dalam bentuk pinjaman dan/atau pembiayaan syariah dengan jumlah pinjaman maksimal Rp 250juta per UMK.
Kedua, berbentuk Pinjaman Tambahan dalam bentuk pinjaman dan/atau pembiayaan syariah untuk membiayai kebutuhan yang bersifat jangka pendek (maksimal 1 tahun) dengan jumlah maksimal Rp 100 juta per UMK.
Erick mengatakan modal kerja yang diberikan dalam bentuk pinjaman dikenakan jasa administrasi sebesar 3 persen per tahun, dihitung dari saldo pinjaman awal tahun atau suku bunga flat yang setara dengan 3 persen per tahun, terhitung dari saldo pinjaman awal tahun. Pinjaman Modal Kerja ini diberikan dengan jangka waktu atau tenor pinjaman paling lama 3 tahun.
“Dengan demikian, ini akan jauh lebih ringan dari KUR dan sifatnya harus berputar atau revolving. Cocok untuk UMK yang memang belum bank-able, dan diharapkan nantinya akan naik kelas sehingga layak untuk mendapatkan dukungan dari skema pembiayaan yang lebih tinggi,ā ucap Erick.
Sebagai langkah awal, Erick merekomendasikan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI sebagai pengelola kerja sama program PUMK, terutama dengan BUMN dan perusahaan dengan Kepemilikan Negara Minoritas (PKNM). Dalam pelaksanaannya, BRI dapat mengajak anak perusahaan yang memiliki kegiatan usaha penyaluran program PUMK dengan skema pembiayaan yang belum dapat dilakukan oleh BRI.
Selanjutnya, ia meminta BRI mempersiapkan berbagai hal demi berjalannya Program PUMK dengan skema kerja sama tersebut. Pertama, menyusun sistem pengelolaan Kerja Sama Program PUMK yang didukung dengan SDM, Teknologi Informasi, dan Prosedur Operasional Standar (POS) atau prosedur lain yang akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan Kerja Sama Program PUMK.
Kedua, menyiapkan Key Performance Indicators (KPI) pelaksanaan Kerja Sama Program PUMK yang merupakan bagian dari KPI Korporasi BRI dan pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri BUMN di bidang kontrak manajemen dan indikator kinerja utama.
“Prioritas utama Program PUMK dapat memberikan kemudahan UMK untuk mendapat akses permodalan. Hal itu dibuktikan dengan kebijakan Program PUMK menyasar UMK yang belum mendapat pinjaman usaha serta belum memenuhi kriteria untuk mendapat pinjaman usaha perbankan,” ungkap pria kelahiran Jakarta tersebut.
Menurut Erick, keterlibatan BRI dalam Kerja Sama PUMK dapat melengkapi kebutuhan permodalan untuk UMK. Sebelum mendapat pembiayaan, BRI akan melakukan analisis atas portofolio UMK untuk melihat permodalan yang layak untuk diterima sehingga UMK yang belum mendapatkan Program PUMK dapat dialihkan kepada pembiayaan usaha dari produk bisnis BRI yang ada.
Selain itu, lanjut Erick, UMK yang telah dibina melalui Program PUMK disiapkan untuk nantinya layak dan bisa mendapat pembiayaan usaha perbankan sehingga tercapaianya kenaikan kelas UMK.
“Harapannya kebijakan Kerja Sama Program PUMK ini dapat menciptakan nilai tambah atas pengelolaan Program PUMK dengan tetap menjaga tujuan untuk meningkatkan kemampuan bisnis UMK,” kata Erick.