Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kondisi perusahaan BUMN karya atau sektor konstruksi mengalami kesulitan saat ini. Hal ini, ucap pria yang akrab disapa Tiko, lantaran dampak pandemi dan juga penugasan pemerintah.
“Kondisi (BUMN) karya kita saat ini cukup memprihatinkan karena kombinasi dua hal, karena tekanan Covid-19 yang berdampak pada kontrak baru dan penjualan; serta penugasan yang sangat berat,” ujar Tiko saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/7).
Tiko menyebut penugasan tersebut tidak mendapat dukungan dari sisi Penyertaan Modal Negara (PMN) yang memadai. Tiko menyebut selama periode 2017 hingga 2019 tidak ada PMN bagi BUMN dalam melakukan penugasan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Tiko mengatakan Perumnas yang mengalami penurunan pendapatan akibat melambatnya penjualan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Hal ini mengakibatkan, invetori rumah Perumnas yang besar berdampak pada peningkatan rasio utang meningkat tajam.
“Kami sedang melakukan restrukturisasi untuk memastikan ke depan neraca dan ekuitas memadai. Kita ingin adanya tambahan PMN untuk memastikan penugasan Perumnas membangun rumah untuk MBR bisa dilanjutkan secara berkelanjutan,” lanjut Tiko.
Sementara Waskita Karya, ucap Tiko, peningkatan utang akibat penugasan untuk mengambil alih tol-tol swasta yang mangkrak seperti ruas tol Ngawi-Kertosono, Pejagan-Pemalang, hingga Pemalang-Batang, pada 2015 hingga 2016. Tiko menyebut utang Waskita saat ini mencapai Rp 50 triliun dalam bentuk obligasi Rp 20 triliun dan Rp 20 triliun utang ke vendor
“Kami sudah melakukan restrukturisasi menyeluruh. Ada dua skema dukungan pemerintah yakni Rp 19 triliun untuk penjaminan penyelesaian proyek-proyek yang sudah ada dan Rp 17 triliun untuk modal baru karena banyak modal terserap untuk menggarap tol di masa lalu,” ungkap Tiko.
Hal serupa dialami PT Hutama Karya. Tiko mengatakan tekanan terbesar Hutama Karya adalah proyek jalan tol trans Sumatera (JTTS) yang mengalami keterlambatan PMN selama dua tahun sehingga kondisi aset dan utang meningkat tajam namun ekuitas tidak bertambah.
“Untuk melanjutkan tahap I dibutuhkan total Rp 66 triliun yang akan diberikan secara bertahap tahun ini Rp 25 triliun dan di 2022 akan ada lagi Rp 30 triliun untuk memperkuat menyelesaikan tahap I dan sisanya akan diberikan pada 2023,” kata Tiko.
Tiko menambahkan tekanan juga dialami PT Wijaya Karya mengingat besarnya kebutuhan pembiayaan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Tiko menyebut hanya PT Adhi Karya dan PT PP yang memiliki kondisi keuangan lebih baik saat ini.
Sumber Republika, Edit koranbumn