Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) dinilai akan terkerek oleh sektor bisnis hilir yang diuntungkan dengan harga minyak dunia rendah.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa, dari sisi bisnis hulu Pertamina, harga minyak dunia yang menyentuh titik nadir membuat pendapatan dari hulu akan merosot dan target produksi tahun ini diprediksi tidak akan tercapai.
Namun, Fahmy memproyeksikan kondisi tersebut akan kembali pulih seiring dengan peningkatan harga setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Di sisi lain, sebagai importir minyak mentah dan gasolin, Pertamina akan diuntungkan dengan harga minyak dunia yang terpuruk.
“Pertamina bisa impor dengan harga sangat murah dan menjual BBM di Hilir dengan harga yang masih tinggi, sehingga meraih keuntungan yang besar,” ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.
Adapun, pada awal Mei 2020, Pertamina mencatat pelemahan penjualan BBM dari seluruh produk yang dipasarkan.
Untuk penjualan gasolin yang terdiri atas Premium dan Pertamax Serius, penjualan rata-rata harian turun sebesar 20,79 persen dibandingkan dengan rata-rata harian Januari dan Februari 2020.
Sementara itu, penjualan produk gasoil yang terdiri atas Solar (PSO dan non PSO), Dexlite, dan Pertamina Dex, penjualan rata-rata harian turun sebesar 12,25 persen dibandingkan dengan rata-rata harian Januari dan Februari 2020.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa pelemahan penjualan BBM akan berdampak cukup besar terhadap pendapatan perseroan.
Pasalnya, bisnis hilir berkontribusi sebesar 80 persen terhadap total pendapatan Pertamina dan 20 persen merupakan kontribusi dari bisnis hulu.
Namun, Nicke mengungkapkan dari sisi profit, sektor hulu justru berkontribusi sebesar 80 persen terhadap total laba, sedangkan sektor hilir hanya berkontribusi sebesar 20 persen.
Pada tahun ini, Pertamina telah melakukan skenario penyesuaian produksi hulu. Pertamina menyesuaikan produksi setara minyak turun dari 923 mboepd menjadi 894 mboepd.
“Secara angka kami sudah itung untuk skenario berat penurunan pendapatan kita antara 38 persen–40 persen dan dampak pada penurunan profit lebih dari itu,” ungkapnya.
Pertamina memperkirakan kehilangan potensi keuntungan hingga 51 persen atau sekitar US$1,12 miliar dari rencana kerja dan anggaran (RKAP) 2020.
Berdasarkan RKAP Pertamina, target laba tahun ini dipatok US$2,2 miliar dan pendapatan mencapai US$58,33 miliar.
Nicke mengatakan profit Pertamina bakal tergerus lebih dalam lagi karena ada kerugian selisih kurs yang harus dimasukkan.
“Kami Capex dan Opex menggunakan dolar Amerika Serikat, sementara penerimaan [banyak] menggunakan rupiah,” katanya.
Potensi hilangnya laba Pertamina, mengacu dua skenario yang ditetapkan Pertamina dengan mempertimbangkan ICP dan kurs dolar Amerika Serikat.
Mengacu skenario pertama, pendapatan perseroan berpotensi turun US$ 22,17 miliar menjadi US$ 36,16 miliar. Sementara mengacu skenario kedua, potensi penurunan pendapatan lebih besar yakni mencapai US$ 26,25 miliar atau menjadi US$ 32,08 miliar.
“Untuk skenario sangat berat, maka profit akan berkurang 51 persen. itu dengan asumsi yang sudah ditetapkan pemerintah. Cashflow lebih berat lagi krn kita banyak berikan fasilitas kredit ke pelanggan karena semua pihak kesulitan cashflow,” tambahnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn