Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) badan usaha milik negara (BUMN) pada Desember 2021 naik 2,20 % menjadi US$ 58,90 miliar dari periode November 2021 yang sebesar US$ 57,61 miliar.
Ekonom MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi mengatakan, kenaikan utang luar negeri BUMN ini terjadi seiring dengan penerbitan global bond dari beberapa emiten BUMN. Seperti Pertamina yang merilis global bond senilai US$ 1,9 miliar untuk capex dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) untuk memperkuat permodalan senilai US$ 600 juta.
Adapun, utang BUMN tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yakni bank, lembaga keuangan bukan bank (LKBB), dan perusahaan bukan lembaga keuangan.
Utang luar negeri bank BUMN tercatat sebesar US$ 9,28 miliar di periode tersebut, turun 7,22% dari Oktober yang sebesar US$ 9,95 miliar. Sementara, ULN LKBB masih berada di posisi yang sama yakni US$ 2,9 miliar di periode Desember 2021 dan periode November 2021.
Sedangkan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan mengalami kenaikan sebesar 4,22% di Desember 2021 yakni US$ 46,72 miliar, dari November 2021 yang sebesar US$ 44,75 miliar.
Tirta mengungkapkan, ULN bank mengalami penurunan karena sebenarnya dari sisi penerbitan obligasi biasanya bank ramai, tapi 2021 ini termasuk sepi. Hal ini terbilang wajar karena bank likuiditasnya sedang longgar.
“Tren yang terjadi adalah dana pihak ketiga (DPK) meningkat dobel digit sepanjang 2021, kenaikan tertinggi dialami oleh dana murah atau Current Account Saving Account (CASA) sehingga Cost of Fund (CoF) biaya atas dana bank bisa ditekan, wajar saja jika keperluan penerbitan obligasi domestik maupun global juga tak ramai,” jelasnya.
Adapun, ULN LKBB masih berada di posisi yang sama karena perusahaan pembiayaan belum agresif ekspansi untuk menyalurkan pembiayaanya. Sementara untuk ULN perusahaan bukan lembaga keuangan mengalami kenaikan, ini karena momentum suku bunga rendah dan likuiditas global berlimpah dimanfaatkan untuk meraup pendanaan.
Lebih lanjut, Tirta melihat gambaran ekonomi dari adanya ULN BUMN ini, jika dari external debt Indonesia, ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian, yaitu terkait rasio external debt (ED) terhadap PDB.
Tercatat per akhir 2021, external debt/PDB Indonesia berada di angka 35%. Secara rasio menurutnya masih bisa di atur dan juga jauh lebih rendah dari negara lain. Ia mencontohkan Argentina yang sudah berada di atas 60%, Brasil di atas 40%, Afsel berada di 50% an, Turki bahkan di atas 70%. “Jadi sebenarnya Indonesia masih lebih bisa di atur,” jelas Tirta.
Dari sisi risiko, biasanya yang banyak disorot adalah risiko nilai tukar, ekspor Indoensia lebih tinggi dari impor, sehingga terjadi surplus pada neraca dagang hampir 2 tahun beruntun. Hal ini juga yang membuat pasokan valas jadi meningkat.
Di sisi lain, transaksi berjalan juga surplus, dan cadangan devisa juga tinggi, sehingga secara keseluruhan menurutnya masih cukup solid. Ini juga terlihat dari proporsi yang juga masih didominasi oleh utang jangka panjang.
“Dengan defisit anggaran yang lebih rendah dari APBN baik di 2021 maupun 2022 ini (perkiraan kami) maka risiko suplai bond juga cenderung dapat ditekan apalagi di tengah isu pengetatan moneter oleh the Fed,” imbuh Tirta.
Sumber Kontan, edit koranbumn