Kapasitas modal menjadi salah satu tantangan industri reasuransi di Indonesia saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re Benny Waworuntu.
Dia mengatakan bisnis reasuransi masih dalam kondisi yang menantang. Sejumlah tantangan pun dihadapi oleh industri, di antaranya terkait dengan permodalan.
“Bagaimana bisnis reasuransi sekarang? Apakah masih tertekan? Terus terang memang masih, karena industri reasuransi dua hal yang penting. Permodalan kapasitasnya dan kapabilitas artinya skill-nya,” katanya saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/07/2024).
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur batas ekuitas perusahaan asuransi dan reasuransi yang tertuang dalam POJK Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Beleid tersebut mengatur ekuitas minimal yang harus dipenuhi perusahaan reasuransi senilai Rp500 miliar pada tahap pertama tahun 2026.
Kemudian, tahap kedua pada 2028 menjadi Rp1 triliun untuk reasuransi Kelompok Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1 dan sebesar Rp2 triliun bagi perusahaan reasuransi KPPE 2.
Indonesia Re telah memenuhi ketentuan ekuitas tersebut. Berdasarkan laporan keuangan bukan konsolidasi per semester I/2024 total ekuitas Indonesia Re tercatat sebesar Rp2,72 triliun, meningkat dibandingkan dengan semester I/2023 yang senilai Rp2,6 triliun.
Benny mengatakan POJK 23/2023 tersebut dapat membantu permodalan perusahaan reasuransi di Indonesia. “Slowly but sure semua akan, dalam tanda petik, dipaksa untuk meningkatkan permodalan itu,” tegasnya.
Berdasarkan hasil survei OJK terhadap industri perasuransian tahun 2023, dalam lima tahun ke depan sebanyak 93% pelaku industri perasuransian optimistis bahwa perusahaan mereka akan bertumbuh lebih baik.
Namun, 33% pelaku industri perasuransian mempunyai persepsi bahwa pertumbuhan industri asuransi di Indonesia tidak sebaik pertumbuhan di luar negeri.
Benny menilai masalah yang dihadapi perusahaan reasuransi dalam negeri tak selesai dengan pemenuhan permodalan saja. Menurutnya faktor-faktor yang menjadi tantangan di industri ini komprehensif.
“Contoh ada masalah persaingan di dalamnya, ada masalah peraturan di dalamnya. Masalah dukungan pemerintah di dalamnya juga. Jadi, kita enggak bisa ngomong dengan mudah selesai,” ujar dia.
Sepanjang 2023, industri perasuransian di Indonesia dilanda hardening market. Fenomena ini diyakini dapat memicu penurunan kinerja industri asuransi, sebab adanya peningkatan tarif premi yang dilakukan pemain asuransi.
“Mungkin betul kemarin kita ada hard market, apakah masih terjadi? Hard market pelan-pelan sudah mulai soft. Tapi kita enggak bisa bilang kalau sudah soft lebih gampang cari kapasitas, enggak juga,” tegasnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn