Kolaborasi menjadi salah satu kunci penting untuk menyukseskan pengembangan vaksin dalam negeri. Penekanan ini penting untuk mempercepat Bio Farma dalam kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan. Hal ini dipaparkan Direktur Transformasi dan Digital Bio Farma Soleh Ayubi ketika mengisi acara Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan bertajuk “Progressing Step to Achieve National Resilience in Pharma and Medical Devices” di Hotel Courtryard by Marriott Bali, Nusa Dua Resort, Selasa (23/8/2022).
Terkait kemandirian sediaan farmasi dan alkes khususnya vaksin, Soleh Ayubi menyatakan, vaksin memiliki waktu product development atau pengembangan produk yang panjang dan mahal. Sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pengembangannya.
“Dibutuhkan kolaborasi bukan hanya dari nasional tetapi internasional dan butuh dukungan semua pihak baik dari pemerintah, regulasi, dan akademisi,” kata Soleh Ayubi.
Ia mencontohkan konsep laboratorium di Kendall Square yang menjadi pusat penelitian Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Di sana, semua terkonsolidasi dengan baik perusahaan yang sudah bekerja sama untuk pengembangan produk, salah satunya Pfizer, GSK dan Moderna. Ia pun berharap di Indonesia punya konsep seperti itu untuk mempercepat kemandirian sediaan farmasi dan alkes.
Dalam lingkup tanah air, holding BUMN farmasi upstream dan pengembangan produknya sudah mulai melakukan investasi. Yaitu dengan membangun perusahaan rintisan dan bekerja sama dengan berbagai universitas untuk percepatan farmasi dan alkes. Salah satunya Bio Saliva, yang merupakan kerja sama Bio Farma dengan perusahaan rintisan bioteknologi Nusantics. Bio Saliva sendiri merupakan alat uji untuk mendeteksi Covid-19 dengan metode kumur (gargling). Metode ini jauh lebih nyaman untuk mendeteksi virus Covid-19 dalam tubuh pasien dengan atau tanpa gejala.
Bio Saliva ini merupakan pelengkap dari produk sebelumnya yaitu mBioCov19 yang juga dikembangkan oleh Nusantics. Proses pengembangan produk ini melibatkan lebih dari 400 sampel pasien positif Covid-19, baik pasien rawat jalan, maupun rawat inap dan riset validasi selama 7 bulan. Uji validasi telah selesai dilakukan bersama-sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) dan Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK).
Soleh Ayubi juga menyampaikan, Bio Farma juga telah berinvestasi melalui Bio Health Fund sebanyak 20-100 juta Dollar untuk membiayai penelitian dan pengembangan beberapa perusahaan rintisan baik nasional maupun internasional di bidang healthcare. Namun, Soleh Ayubi mengakui perusahaan rintisan memiliki tantangan tersendiri untuk bidang uji klinis hingga perluasan skala produksi.
“Sehingga, butuh dukungan industri farmasi untuk mendukung dan mempercepat pengembangan produk demi meningkatkan kemandirian sediaan farmasi dan alkes,” cetusnya