Pemerintah berencana menunjuk badan usaha milik negara (BUMN) bidang keuangan untuk menjadi mitra instansi pengelola (MIP) iuran batu bara. MIP bertugas mengelola iuran dari perusahaan tambang batu bara dan menyalurkannya kembali kepada pemasok batu bara untuk kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
Pelaksana Harian Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite mengatakan, nantinya kementeriannya hanya berfungsi sebagai pengawas skema serah salur kompensasi batu bara dari kebijakan DMO yang dikerjakan MIP tersebut.
Penunjukan BUMN yang tidak ikut pada rantai industri hulu batu bara itu diharapkan dapat menjaga keberlanjutan pasokan serta arus kas perusahaan batu bara di dalam negeri nantinya.
“Sudah mengerucut, tapi kan ada beberapa assesment yang kita lakukan, bukan perusahaan tapi lebih tepatnya lembaga perbankan kayaknya, lembaga keuangan arahnya ke sana,” kata Idris saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Idris menegaskan, seluruh produsen batu bara bakal ikut tergabung dalam pengelolaan MIP tersebut. Kebijakan itu berbeda dari ketetapan sebelumnya yang hanya mengikutsertakan sebagian produsen berdasarkan kualitas batu bara yang dihasilkan.
“Jadi lembaga MIP ini akan menjadi sentral pungutan, baik ekspor maupun DMO, nanti mereka akan kelola dan substitusi bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan kewajiban dalam negeri,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mewacanakan pembentukan badan layanan umum (BLU) batu bara untuk mengatasi sengkarut pasokan DMO batu bara. BLU direncanakan bertugas mengumpulkan pemungutan dana dari seluruh produsen batu bara dan menyalurkannya kembali kepada pemasok batu bara dalam negeri untuk PLN dan industri lainnya, kecuali smelter, atas selisih pembayaran harga batu bara acuan (HBA) aktual dengan HBA DMO batu bara.
Belakangan bergulir wacana bahwa skema BLU akan diubah formatnya menjadi MIP. Melalui format MIP, dana kompensasi DMO bisa dikelola oleh BUMN, badan swasta, atau lainnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meminta pemerintah untuk membenahi formula pembentuk harga batu bara acuan (HBA) sebelum mengimplementasikan badan pungutan dana kompensasi atas kewajiban pemenuhan DMO.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan, pembenahan faktor pembentuk HBA itu menjadi krusial untuk kelangsungan arus kas perusahaan tambang hingga pemasok batu bara bagi industri dalam negeri mendatang. Apalagi, kata Hendra, harga batu bara di pasar internasional diproyeksikan tetap menguat hingga akhir tahun ini.
“Ketika ini tidak dibenahi akan mengganggu arus kas perusahaan karena akan menjadi beban apalagi dengan pungutan tarif di BLU atau MIP kan ini mendesak harus dibenahi dulu,” kata Hendra saat dihubungi, Rabu (11/1/2023).
Hendra menerangkan, HBA yang berlaku saat ini tidak lagi mencerminkan harga batu bara di indeks internasional. Dia mengatakan, terjadi kesenjangan indeks yang makin lebar antara Indonesia Coal Index (ICI) dengan Newcastle Export Index (NEX) dan Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dalam 2 tahun terakhir.
Akibatnya, kata dia, pelaku usaha mesti membayar kewajiban kepada negara dengan angka yang lebih tinggi dari harga patokan batu bara (HPB) dalam perdagangan komoditas di Indonesia.
“Beban kami ini tinggi banget kalau selisih sampai dua kali lipat kan tidak fair,” kata dia.
Kendati demikian, dia menilai positif wacana pemerintah yang ingin mengubah skema pungut salur dana kompensasi DMO dari berbentuk badan layanan umum (BLU) menjadi mitra instansi pengelola (MIP).
Menurutnya, perbedaan skema BLU dan MIP hanya terletak pada badan pelaksananya saja, di mana BLU artinya dana kompensasi dikelola pemerintah, sementara melalui MIP dapat dikelola oleh badan swasta atau badan lain.
“Kami sambut baik apapun skema yang digulirkan pemerintah, baik BLU maupun MIP, kami terbuka dukung lembaga tersebut. Tapi sebelum BLU atau MIP diberlakukan yang paling mendesak revisi formula HBA,” katanya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn