PT PLN (Persero) mengejar pengembangan energi baru terbarukan hingga mencapai kapasitas 230 gigawatt (GW) sampai dengan 2060. Penambahan kapasitas energi bersih ini digadang-gadang memerlukan kucuran investasi tidak kurang dari Rp7.000 triliun–Rp8.400 triliun.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa saat ini permintaan sektor kelistrikan telah mencapai 300 terawatt hour (TWh). Setelah dua tahun mengalami penurunan konsumsi, pertumbuhan permintaan mulai bergerak normal dengan proyeksi 4,5–4,6 persen per tahun.
Dari asumsi tersebut, perseroan memperkirakan pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia akan mencapai 1.800 TWh pada 2060. Dengan asumsi proyek 35 gigawatt (GW), diperkirakan masih terdapat gap energi sekitar 1.380 TWh.
Proyeksi ini belum lagi menghitung konsumsi listrik dari pertumbuhan kendaraan listrik maupun pengurangan konsumsi gas serta peningkatan penggunaan kompor induksi.
“Dari kapasitas 230 GW tentu saja kita membangun strategi bahwa penambahan kapasitas yang baru tidak lagi berbasis batu bara, brigging menggunakan gas dan beralih ke energi baru terbarukan,” katanya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Lebih lanjut, perseroan mengasumsikan pengembangan 1 megawatt energi terbarukan berkisar US$2 juta–US$3 juta. Dengan demikian, kebutuhan dana yang diperlukan untuk memenuhi 230 GW sekitar US$500 miliar–US$600 miliar.
Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021–2030, PLN telah merencanakan replacement 1,1 GW pembangkit listrik tenaga uap dengan energi terbarukan baseload pada 2025.
Pada tahun tersebut, perusahaan setrum juga mulai menggunakan teknologi carbon capture and storage (CCS). Namun begitu, replacement PLTU menjadi EBT ini menghadapi tantangan tersendiri.
Seperti diketahui PLTU dapat beroperasi selama 24 jam. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hanya mampu beroperasi selama 4 jam. Sebab itu, PLN akan menggunakan teknologi baterai untuk menopang 20 jam operasi.
“Cost EBT sekitar 5–6 sen, untuk itu ada ruang 4 sen untuk biaya CCS. Ini salah satu opsi yang kita pertimbangkan,” katanya.
Tarif EBT
Tarif energi terbarukan diyakini akan terus merosot di masa depan. Darmo dalam paparannya mencatat penurunan tarif PLTS mencapai 15 persen per tahun.
Pada 2015, PLTS di Kupang dengan kapasitas 5 MW masih cukup mahal mencapai 25 sen per kWh. Kemudian PLTS Likupang 15 MW turun menjadi 10,6 sen per kWh. Tahun lalu, PLTS Apung Saguling sebesar 60 MW telah turun drastis hingga 3,6 sen per kWh.
Begitupun, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Sidrap dengan kapasitas 70 MW masih dihargai 11,41 sen per kWh pada 2015. Kemudian PLTB Tolo Jeneponto 15 MW turun menjadi 10,89 sen per kWh. Pada 2020, PLN mengindikasikan tarif PLTB US$7 sen hingga US$8 sen per kWh.
Sementara itu, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan bahwa target penambahan kapasitas terpasang pembangkit EBT berdasarkan RUPTL sebesar 648 MW. Dari jumlah tersebut, 287,4 MWp berasal dari PLTS, PLTA/M/MH sebesar 207 MW, PLTB 2 MW, PLTP 108 MW, dan PLT Bioenergi 43 MW.
“Pemerintah juga memiliki target penambahan kapasitas terpasang PLTS Atap sebesar 334,95 MW,” katanya.
Pemerintah turut mengupayakan percepatan realisasi pengembangan EBY dengan sejumlah kebijakan dan program. Beberapa di antaranya adalah program pengembangan PLTS mulai dari atap, skala besar dan terapung.
Kemudian dilanjutkan dengan program mandatori bahan bakar nabati, pemutakhiran data potensi EBT dan debottlenecking permasalahan pengembangan EBT melalui monev secara berkala.
Kementerian turut menggodok rancangan Perpres tentang harga EBT. Beleid ini nantinya diharapkan memberi kepastian dan sinyal positif kepada investor yang berminat untuk mengembangkan EBT di Tanah Air.
“Saat ini Perpres tersebut masih terus dalam proses pembahasan bersama dengan Kementerian Keuangan,” tuturnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn