Realisasi proyek pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 sudah menunjukkan kemajuan. Sebagian proyek pembangkit EBT dalam RUPTL ini sudah memasuki tahapan commercial operation date (COD).
Pekan lalu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan bahwa total kapasitas dari proyek pembangkit EBT RUPTL 2021-2030 sudah mencapai tahapan COD atau mendapat sertifikat laik operasi (SLO) berjumlah 384 Mega Watt (MW).
Sebanyak 3.278 MW pembangkit EBT lainnya tengah dalam proses konstruksi. Sisanya baru mencapai tahapan power purchase agreement (PPA) sebanyak 746 MW, pengadaaan 302 MW, eksplorasi 570 MW, dan perencanaan 15.644 MW.
“Proyek EBT pada tahun 2021 telah dimulai dan ada yang telah COD dan ada yang masih dalam tahap konstruksi,” tutur Dadan
Seperti diketahui, pemerintah dan PLN mencanangkan penambahan pembangkit sebesar 20,9 GW dalam kurun waktu 2021-2030 dalam RUPTL 2021. Jumlah tersebut setara kurang lebih 51,6% dari total penambahan pembangkit yang dicanangkan dalam RUPTL 2021-2030, sisanya merupakan pembangkit berbasis fosil.
Berdasarkan materi Diseminasi RUPTL 2021-2030 tertanggal 5 Oktober 2021, sebanyak 56,3% dari proyek pembangkit EBT RUPTL 2021-2030 direncanakan dikembangkan oleh swasta, sedang 43,7% sisanya oleh PLN sendiri.
Beberapa contoh pembangkit EBT dalam RUPTL 2021-2030 yang sudah memasuki tahapan COD/SLO di antaranya yakni Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo (9 MW), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) Arung Dalam (2 MW), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi unit #2 (45 MW), dan PLTP Dieng Small Scale (10 MW).
Dadan bilang, di tahun 2022 ini, PLN telah memiliki rencana untuk pengadaan pembangkit EBT untuk tahun 2022 dengan total kapasitas sebesar 1.238 MW. Secara terperinci, pembangkit-pembangkit EBT yang akan dibangun meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 490 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 512 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 22 MW, dan Pembangkit Listrk Tenaga Bioenergi (PLTBio) 19 MW.
“Rencana pengadaan di atas meliputi proyek yang dikembangkan PLN maupun IPP (independent power producer). Ditargetkan untuk mulai dilaksanakan pengadaan pada tahun Januari 2022,” ungkap Dadan.
Dihubungi terpisah, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN, Agung Murdifi mengatakan bahwa pengembangan pembangkit EBT dengan total kapasitas sekitar 1,2 Giga Watt (GW) bakal dilakukan secara bertahap mulai tahun 2022 ini dengan menyesuaikan dengan kebutuhan sistem.
“Saat ini, dalam proses pengadaan di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Bali Barat 25 Mega Watt (MW), PLTS Bali Timur 25 MW dan beberapa pembangkit hidro,” ujar Agung kepada Kontan.co.id, Senin (3/1/2021).
Agung bilang, tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan pengembangan EBT perlu dihadapi bersama-sama, khususnya dalam menyelaraskan keseimbangan supply & demand, kesiapan pendanaan, kesiapan industri dalam negeri untuk lebih berperan, kemudahan berusaha, perizinan serta penyelesaian tahap konstruksi.
Dengan cara itu, pelaksanaan proyek EBT bisa berjalan sesuai target operasi komersial. “Diharapkan, melalui kolaborasi dengan berbagai stakeholder, baik regulator, institusi pendanaan, perguruan tinggi, dapat menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi,” imbuh Agung.
Tantangan proyek EBT
Dadan mengakui, pelaksanaan proyek pembangkit EBT bukannya tanpa tantangan seperti izin dan pendanaan.
Untuk PLTP, tantangannya lebih beragam lagi, mulai dari masalah sosial berupa penolakan dari masyarakat, lokasi sebagian area panas bumi panas bumi yang terletak di area konservasi dan warisan dunia sehingga sulit untuk dikembangkan, sampai risiko pengembangan proyek yang besar, terutama pada tahapan eksplorasi.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan proyek pembangkit EBT bertambah berat.
Kendala yang dijumpai antara lain pencapaian Financial Close atau arus kas pengembang yang terkendala karena dampak Covid-19, serta konstruksi yang terhambat karena adanya pembatasan Covid-19.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan ini, Kementerian ESDM, kata Dadan, menempuh sejumlah upaya. Beberapa upaya di antaranya yakni memfasilitasi pertemuan antara Badan Usaha, lembaga pendanaan dan Kementerian/ Lembaga terkait lainnya, melakukan monitoring evaluasi (Monev) untuk memastikan Badan Usaha segera memproses adendum PPA untuk perpanjangan due date COD, dan masih banyak lagi.
“Selain itu, untuk yang statusnya perencanaan, kami mendorong agar segera dipersiapkan Kajian Kelayakan Proyek maupun persiapan pengadaannya menyesuaikan dengan jadwal COD yang tercantum dalam RUPTL,” tambah Dadan.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) Priyandaru Effendi mengatakan, pengembang panas bumi berharap agar pemerintah bisa menjembatani isu-isu antara pembeli dengan penjual serta bantu pengembang untuk mengatasi masalah-masalah lain seperti pembebasan tanah, dan lain-lain.
Salah satu langkah konkret yang menurut Priyandaru dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong kelancaran proyek-proyek PLTP di antaranya ialah membantu mendorong penyelesaian perundingan PPA antara pengembang panas bumi dengan pembeli listrik.
“Penyelesaian perundingan PPA segera. Tanpa PPA, komitmen berinvestasi tidak bisa dilaksanakan,” kata Priyandaru
Sumber Kontan, edit koranbumn